Waktu presentasi di Tsukuba Daigaku, ada mahasiswa yang bertanya "kenapa mau ikut program belajar ke Jepang?" Saya jawab begini, "Jadi, saya tuh dari kecil suka nonton Chibi Maruko chan, jadi terinspirasi pingin suatu hari belajar ke sini" Semenjak hari itu, setiap ada yang identik dengan chibi maruko chan, mereka manggil saya. Bahkan, ada salah satu temen lab yang berasal dari Shizuoka -tempat tinggalnya Maruko-, lalu saya dikenalin sama dia.
Iya, dari chibi maruko chan ini saya sempat bertanya-tanya. Kok asik ya budaya dan kehidupan orang Jepang. Dan sekali lagi, sebersit doa di hati saat itu, akhirnya menjadi nyata setelah bertahun-tahun lamanya. Hati-hati dengan doa. Nah, hari itu saya ada program homestay di Asakura, dan perjalanan "nyicipin" jadi keluarga orang Jepang pun dimulai.
Asakura ini boleh dibilang jauh banget dari Ibukota-nya Fukuoka; Hakata. Waktu itu, dari Haneda kami naik JAL ke Bandara Fukuoka. Singgah sejenak di Hakata, lalu naik bis menuju kampung Asakura. Iya, kampung bangettt. Pertama tiba di Asakura, disambut oleh keluarga homestay di sebuah gedung sekolah. Itu sudah malam, sepi banget. Bahkan kampung saya di Kediri masih lebih ramai. Dari meeting point, saya bertiga dengan teman dari IPB dan UI, dijemput oleh Okaa san. Beliau menjemput kami dengan mobilnya berwarna biru, menuju jalanan yang makin gelap dan menaiki gunung. Posisi rumah beliau memang tepat di atas bukit, dan hanya punya beberapa tetangga di sana. Okaa san dan Otou san adalah petani. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Modal kami hanya nihongo kaiwacho dan bahasa isyarat, meskipun sedikit-sedikit Okaa san bisa berbahsa inggris. Anyway beliau selalu membawa buku kamus nihongo-eigo kemana-mana selama kami tinggal di sana. Effort banget memang, tapi seruuu!
Kehidupan Keluarga Jepang
Kedatangan kami disambut Otou san yang sedang santai-santai sambil menghangatkan diri, saat itu Fukuoka memang sedang sangat dingin, selain karena winter, juga tumben banget saat itu beberapa kali turun salju di Hakata, bahkan di Asakura. Setelah naruh barang di kamar, kami sekeluarga berkumpul di kotatsu, meja penghangat yang saya curious banget bagaimana rasanya pas nonton maruko chan, ternyata kehangatan malam itu datang dari 3 hal; hangatnya kotatsu, pemanas ruangan manual, dan juga sambutan yang sangat hangat dari keluarga ini. Rasanya baru sebentar, sulit komunikasi, meski agak awkward tapi kami sudah merasa sangat nyaman, menganggap mereka seperti bapak ibu di Indonesia. Malam itu, Okaa san menyediakan menu dinner yang spesial; SUSHI. Jauh sebelum hari ini, keluarga kami sudah berkali-kali dibriefing bahwa saya dan satu teman muslim lain hanya bisa makan makanan halal. Bahkan saat makan malam, panitia menelfon ke rumah dan mengecek kami sedang makan apa saja.
Ada satu hal lucu malam itu ketika ngobrol sama Otou san; Japanglish. Otou san ngeluarin laptop dan buka google maps. Di rumah itu, mereka pasang wifi. Tapi untuk beberapa alasan, kami sungkan untuk minta passwordnya, alhasil saya survive tanpa internet untuk beberapa waktu. Kembali ke Otou san, beliau benar-benar tidak mengerti bahasa inggris, lucu deh ngobrol sama beliau. "Otou san, Nanishiteruno?" "Anata wa nihongo ga hanasemasu??" "iie, sukoshi, hehehe" Kadang kami nekat untuk nanya-nanya menggunkan nihongo, tapi endingnya kami tidak mengerti mereka bilang apa saat menjawab lagi dengan nihongo. Hiks. "Ano, guguru.. guguru..." jawab Otou san saat kami tanya sedang apa. "Hmm, guguru? Nandesuka?" kami bingung lah ya, jenis makanan apa itu guguru. Akhirnya beliau membalikkan laptop dan sedang membuka google maps. Aha!! guguru means google, guys. seketika kami tertawa bersama. Wakarimasu, lalu kami melanjutkan sembari menunggu Okaa san menyiapkan sushi-nya. Dengan susah payah, Otou san ingin lihat tempat tinggal kami di Indonesia. Lalu saya bantu ketik "Dramaga, Bogor, Indonesia" di search google maps. Lalu di depan laptop di atas meja kotatsu itu, kami menceritakan semua tentang Indonesia, tentang kampung halaman saya di kediri, lalu sekolah di Bogor, berapa jam perjalanan, lihat google street view, dan banyak banget.
Usai makan malam, kami kembali ke kamar dan bersiap untuk istirahat. Kami dipersilahkan tidur di kamar paling depan, yang beralaskan tatami. Di atas tatami, kita tidak boleh menggunakan alas kaki, sedangkan di ruangan lainnya kecuali kamar mandi dan toilet, kita menggunakan sandal rumah. Sebelum tidur, kami bergantian mandi dan shalat jamak isya-maghrib. Yang bikin excited adalah, finally saya bisa nyobain the real japanese futon, hahaha norak banget siih emang. Okaa san membantu kami menggelar futon yang ditumpuk di pojokan kamar. Kakak saya sempat bertanya waktu pulang ke Indonesia "Emang pas winter gak dingin tidur di kasur begitu??" Tapi nyataya, nyaman banget tidur di futon, karena setiap sheet futon tebel bangeet. Jadi sudah cukup hangat. Meskipun saya tetep harus pakai kaos kaki dan penghangat tangan. Cupu ah.
Futon |
Pagi hari, kami disambut ocha di meja tengah. Okaa san sedang menyiapkan typical breakfast japanese family; sup miso, nasi, dan ikan panggang. Saat meja masih kosong, di tengah ada semangkuk sesuatu yang kami masih menebak-nebak apa itu. Kata Otou san, cobain aja. Oke, kami icip sedikit. Astagaa, "suppaaiii" sambil muka keaseman. Ternyata umeboshi. wkwk. Lalu Otou san punya ide untuk ngeluarin yang jauh luar biasa; sekotak nato. Lantas beliau menyajikan nato instan di depan kami. Sudah santer berita bagaimana rasanya nato buat orang Indonesia. Akhirnya kami mencoba seujung sendok saja, lalu bilang sumimasen dan arigatou gozaimasu. Give up. hahaha. Usai sarapan, Otou san membawakan salah satu hasil panennya; kaki (kesemek/persimmon). Mereka adalah petani kaki. Dan Asakura merupakan sentra buah tersebut. Di banyak toko makanan Asakura, akan ada manisan kaki atau olahan lainnya.
Hang out Bersama Okaa san
Okaa san sangat excited untuk mengajak kami merasakan asiknya budaya Jepang di Asakura. Salah satunya, ketika mengajak ke onsen (pemandian air panas). Kebetulan, di rumah itu saya tinggal bersama satu teman muslimah yang juga menggunakan jilbab. Dengan susah payah kami harus menjelaskan bahwa kami tidak bisa hang out di Onsen. "Kami tidak bisa melepas jilbab kalau bukan sama perempuan muslim, Okaa san" "Kami harus terus pakai jilbab Okaa san, kecuali di kamar mandi sendirian", dan argumen lainnya. wkwk. Jadi, onsen ini adalah semacam list wajib kalau kita ke Jepang, menurut Okaa san. Makanya, beliau juga sempat nawarin pesan ruang private (yang pastinya lebih mahal) untuk kami berdua. Yaampuuun, Okaa san ini baik banget. Kami tetap berusaha menjelaskan, sampai akhirnya rencana onsen berubah karena ada tetangga kami yang akan makan malam di rumah. Alhamdulillah. hehehe.
Cerita onsen telah usai. Beberapa hari di Asakura sedang hujan lebat, bahkan ada beberapa tempat porak poranda karena hujan angin, bahkan di berita juga sampai tanah longsor. Suatu pagi kami diajak Okaa san untuk makan Udon. MasyaaAllah, ini adalah udon ter-enak sepanjang hidup. Bukan hanya karena literally enak, tapi pagi itu sedang hujan lebat dan di tengah winter yang dingin banget. Makanya, ketika masuk warung udon yang hangat, makan kuah udon yang panas, minum ocha hangat, sambil ngunyah tempura, rasanya nyesss!
Di lain hari, Okaa san bersama satu keluarga homestay dalam program yang sama, mengajak kami pergi ke semacam kota tua di Asakura. Kami dipertemukan dengan Harano sensei, yang ahli dalam kimono. So, pagi itu kami ke rumah Harano sensei untuk pakai kimono. Jika saat summer ada yukata, maka saat winter ada kimono yang bahannya lebih tebal dan lebih berat dari yukata. Harano sensei juga mengajari kami attitude saat menggunakan kimono, apa ya.. lupa namanya. Lalu untuk berjalan menggunakan kimono, harus macam manten perempuan di solo. melangkah sikit-sikit dan pelan-pelan. Usai pakai kimono, kami berangkat ke daerah kota tua tersebut. Sesampainya di sana, kami melakukan kegiatan berupa: jalan-jalan di kota tua pakai kimono dengan sendal geta (bakiak khas jepang), sambil hujan tipis-tipis, di tengah udara winter yang dingin banget. Sesampainya di rumah peninggalan kekaisaran Jepang, kami dipersilakan melihat-lihat rumah tradisional tersebut dan berfoto-foto di dalamnya. Rumahnya tanpa penghangat dong, jadi rasanya tangan dan muka beku banget. Ini idenya weird banget sih, tapi disyukuri aja karena mungkin ini kesempatan sekali seumur hidup untuk blusukan di kampung Asakura pakai kimono saat winter.
Kimono in Winter |
Ada satu tempat hang out yang bikin saya merasa tidak sia-sia datang ke Fukuoka, yaitu tempat pembuangan sampah. Saya tentu membandingkan kampung di Jepang dengan perkampungan di Indonesia. Ketika kampung di negeri sendiri seringkali minim fasilitas umum, misal di tempat saya belum ada pengelolaan sampah rumah tangga. Lalu ke mana bapak dan ibu saya membuang sampah? Tentu di rumah kami ada penampungan sampah, lalu sampahnya dibakar. Dan semua warga melakukan hal yang sama. Lalu saya, pagi itu, tercengang ketika Asakura punya tempat penampungan sampah yang terorganisir dengan sangat baik. Seperti yang kita ketahui bahwa di seluruh Jepang, bahkan anak-anak kecilnya sudah terbiasa memilah sampah. Di berbagai daerah di Jepang punya peraturan berbeda dalam pemilahan sampah, kalau tidak salah, ada daerah yang punya 16 kategori sampah saat pemilahan.
Sebelum berangkat, Okaa san sudah memilah sampah terlebih dahulu di rumah. Saat kami masak pun, kami membuang sampah ke plastik organik/sampah basah dan sampah kering/anorganik. Dari plastik sampah kering, lalu akan dipilah lagi. Misal, botol plastik minuman harus terpisah dari label plastik yang menempel pada botolnya. Kami membawa beberapa keranjang sampah (saya lupa apa saja) ke dalam mobil dan menuju (sebut aja) TPS Asakura. di TPS ini, saya diajak keliling dan mengambil beberapa gambar. Saya kira ini adalah pabrik atau gudang gitu, karena tidak tampak sama sekali ini tempat pembuangan sampah. Ada beberapa ruangan yang saya lihat sudah berisi sampah. Salah satunya adalah pembuangan kasur/tempat tidur. Saya lihat kasurnya masih baguuuus banget. Lalu saya membantu Okaa san memisahkan sampah kertas beliau. Sampah koran harus dipisahkan dengan tabloid, majalah, dan buku. Sampah botol plastik juga harus dipisahkan dengan tutupnya. Dan seterusnya. Dulu saya sempat penasaran, jika di kota besar seperti Tokyo pemilahan sampah sudah sangat rapih, bagaimana dengan sampah di kampung? Ternyata, aturan dan kesadaran masyarakat Jepang sudah merata.
-------------------------------------------------
Lanjut ke Homestay di Asakura (Part 2)
Tag :
Travelling
0 Komentar untuk "Homestay di Asakura"