Bismillah. Semoga tak ada prolog
yang mengacaukan isi otak saya saat ini.
Pak muji. Begitu saya memanggilnya, dan sebetulnya memang semua orang
memanggil dengan satu nama itu. Sebelum saya lanjutkan, kita harus saling
percaya bahwa pak muji adalah manusia nyata. Ia bukan fiksi, bukan karakter
sinetron impian saya, bukan tokoh korban buku pelajaran, tiap selasa jam 7.00
pagi, beliau selalu muncul di hadapan kami para peserta kelas organik. Maka kita sepakati dulu bahwa pak muji adalah nyata.
Saya benar-benar harus menuangkannya dalam tulisan ini karena hingga
hari ini, pak muji adalah misteri. Tiap pagi, tiap ia membuka salam adalah
misteri. Kami tak tau frasa apa yang akan ia tumpahkan selanjutnya. Bisa jadi,
celetukan yang kadang membuat seisi kelas terbahak, atau malah membuat kami
mendehem, mencerminkan “grrrrrr”. Dengan tampilan sahaja-nya, siapa yang sangka
bahwa ia adalah seorang dosen. Tugas pertama baginya di selasa pagi adalah,
mengeluarkan presensi berwarna hijau, biru, dan kuning. Kemudian membuka kelas
dengan cara yang biasa. Assalamu’alaikum-ini pertemuan ke…^$#&%^&- yak,
jadi . . .^&%#&%& - nah . . .&^%*%^&$. Sampai pada
menit-menit kami menggelengkan kepala. “hoaam, kapan ini selesainya?” dan tentu
saja tanpa kami bersuara. Karena jelas, komentar beliau akan lebih pahit dari teh
hijau.
Senyum kami banyak-banyak terlepas ketika adegan beliau mengeluarkan
kantong plastik hitam berisi beberapa flashdisk. Ternyata, di abad 21 ini
masih ada tempat flashdisk dengan rupa semacam itu. Dan hanya ada di kelas organik ini. Selanjutnya, saya akan segera terdiam ketika beliau mulai maju ke setengah
barisan kami, kemudian mulai mengejewantahkan isi materi yang ia buat
orisinil hasil pengalamannya. Ya, ini yang membuat beliau semakin hebat. Slide demi
slide yang ditampilkan, ia hafal di luar kepala. Bagaimana tidak, semua isi
slide adalah representasi dari pengalaman lapang beliau. Jam terbang tinggi,
teoritis, aplikatif, komunikatif, bermasyarakat, dan kesungguhan. Ini masih
beberapa hipotesa mengapa pak muji tampil begitu prima di depan kelas. Pernah,
suatu pagi beliau membawa sahabatnya Mr.siapa gitu saya lupa, datang dari
jepang, dengan logat jepang, membagi pengalaman natural agriculture di jepang,
yang membuat kami salah tingkah tanpa rasa dosa. Ya, lagi-lagi ini adalah
pembuktian sudah berapa jauh jejak beliau.
Ishbatul yaqin. Itu adalah dua kata yang berulang kali ia letupkan
untuk mengajak seisi kelas yakin seyakin-yakinnya. Definisinya adalah, yakin. Namun
yakin yang ada pada tingkatan tertinggi. Sangat yakin (pake banget). Kalau saya
yang mengatakannya, mungkin biasa saja. Tapi inilah hebatnya beliau, dua kata
yang sebetulnya buat apa dibahas di alinea ini, tapi menjadi keren ketika
disampaikannya dengan asesoris logat banyumas kental. Eh, atau ini saya yang
lebay? -.-‘
Apapun itu, saya melihat dengan jujur. Beliau adalah manusia dengan
visi besar, meng-organikan Indonesia, bukan hanya dengan kata, bukan beralasan finansial
apalagi nama. Tapi beliau bersemangat, berempati, dan bertindak. Beliau adalah
seni. Tak pernah takut salah, tak pernah takut dikomentari, beliau seperti
matahari pagi yang egois menembus kabut, terus berjalan dan berjalan terus. Dengan
obsesi, beliau (seperti) melakukan semua dengan cinta. menyebalkan memang
ketika praktikum organik harus berperan layaknya petani sungguhan (lah emang???),
berbulan-bulan sampai kami lupa dan asisten naik tikam, diberi materi
pembekalan KKN yang bikin pingin cepet pulang. Tapi, sensasi itu memang hanya
dirasakan pada orang-orang yang melakukannya juga dengan obsesi+cinta.
Dan pada akhirnya, pak muji adalah inspirasi, meski selasa pagi minggu
depan pun kami tak melihat lagi kresek hitam berisi flashdisk itu. Meski aura
yang dimilikinya jelas berbeda –jauh lebih baik- dari presiden negeri ini, ya,
tentu saja pak, itulah yang membuat bapak spesial. Dan saya? Oke, ishbatul
yaqin! Tentu mampu mengikuti jejak visioner itu…
empat puluh menit lalu, adalah tengah malam. widya puri.
Tag :
Kuliah
0 Komentar untuk "Selasa pagi"