![]() |
| Courtesy: studio esinam |
Sungguh.. Rasulullah pun pernah sendirian. Ketika wahyu pertama turun, Rasulullah hanya sendiri di gua hira. Namun, tak lama kemudian khadijah bersaut dalam kesendirian Rasulullah kala firman-NYA harus segera diyakini.
jadi, simpulan sederhananya yakni sendiri bukan hal dosa. Bahkan, kadang, kita butuh menyendiri. Meski perlu digarisbawahi Allah tidak pernah meninggalkan kita. Sendirinya manusia adalah berduanya dengan Allah.
17 tahun berada dalam ruang ibukota, mengajarkan saya bahwa dunia adalah ruang kerja jutaan ummat manusia. wajar jika bising, jika ramai, dan tak jarang ribut. Dalam keramaian, kita belajar akan sabar. Sabar menghadapi ratusan karakter tiap harinya. Sabar mendengar, sabar menasehati, sabar dimarahi. Kehidupan sosial begitu kompleks dengan beragam aktivitas, dari sana juga kita belajar mobilitas. Pernah imam syafi'i memberi nasehat tentang MERANTAULAH.... Dan semua orang seakan sepakat soal itu. Mobilisasi adalah cara sederhana untuk bertahan hidup. Semua orang bergerak, semua orang bekerja. Yang diam, hanyalah seonggok mayat!
dalam keramaian kita belajar akan persaudaraan. darimana belajar bersaudara jika miskin kehidupan sosial. Maka bersama-sama adalah keniscayaan. Saudara adalah yang adanya adalah manfaat bagi kita. Dan tiadanya adalah doa -yang bahkan kita tidak pernah tau, kapan ia mendoakan kita- dan, dari keramaian itulah segala macam masalah tumbuh berkembang meluas dan menghasilkan opini. Ramai adalah Objek pembentukan opini. Dan bisa jadi, subjek pembentukan masalah. Analogi: ditengah ramainya kasus century , KPK menggoreng masalah berupa LHI presiden PKS adalah tersangka TPK, TPPU, demoralisasi, blablabla dan melemparkan ke publik. Hingga terjadilah pembentukan opini. Bisa saja sesat, bisa saja tepat. Lihat saja secara logis dan polos. Cerdas mencerna. Karena tidak semua opini publik wajib hukumnya kita telan mentah-mentah.
Ya, begitulah. Keramaian mengajarkan banyak hikmah. Tinggal, mau menjadi apa ditengah keramaian itu? Pemeran ulama, pemeran hakim, pemeran maling, pemeran diktator, egaliter, atau KPK? Nah, cerdasnya ini dikembalikan pada akal sehat dan kesungguhan menilai. Bukan atas dasar mainstream dan egoisme setan.
eglagitor,
dah ya, ni masih di purwokerto!
Tag :
refamorfosis

0 Komentar untuk "Khalayak ramai"