Berhibur atas kejadian pilu yang melecut sekian menit, menjadi hal prioritas sebelum akal dan rasa berdiaspora menjadi kutukan-kutukan gapenting semacam "lelett, kemana aja? Huh.. Huh.. Huh..."
Maka, sebelum jauh-jauh saya menafsirkan pohon rubuh dan tampias adalah ketidakridhoan Allah pada saya yang makin lemah ini, saya akan coba kembali membuka catatan kecil tempo hari: that's not punishment. That's a test. Yeah, sebagai seorang cendekiawan muda, tentu saya akan berpikir dua kali sebelum membuat justifikasi bahwa Allah telah dengan tega membuat saya menderita, absurd, terbuang, marjinal. agh! Pasti pohon rubuh dan tampias adalah termin ujian, ntah termin keberapa, Allah lebih tau.
Tetapi, hey, sebagai seorang yang lain, saya kadang melihat sebaliknya. "that's a test, and that's a punishment"
hukuman hanya dijatuhkan pada makhluk yang bersalah *syarat dan ketentuan berlaku*
Nah, saya. Coba lihat saya belakangan ini. (seolah-olah) menjadi manusia terbelakang abad21. Tak ubahnya makhluk primata bernama pattrick si echinodermata, yang -bahkan saya tdk tau apa hubungannya dengan saya :|
Ah, kan, marjinal sekali saya.
Terlalu ambigu untuk menjelaskan sesuatu. Apalagi memutuskan sesuatu. Seperti, memutuskan apakah detik ini saya harus menuju ruang timbangan analitik atau berduduk dalam ruang rapat. untuk hal semacam ini saja, saya menjadi #dudulbet. ya, tau kan, akhirnya saya membuat keputusan yang kurang tepat di waktu yg tidak tepat.
Makanya, bisa jadi pohon rubuh dan tampias adalah punishment. meski di waktu yang sama ia adalah test.
Well, pohon sudah rubuh dan air hujan sudah menampias. Semua dalam fase 'sudah', jadi kayaknya bukan hal keren untuk mendramatisir ini dengan hal2 labil semacam statusisasi keadaan, paripurna hati ataupun kudeta emosi (?)
Yap. Saya yakin 124,111% bahwa saya masih bisa keren dengan atau tanpa pohon rubuh. Masalah hanya penyempurna hidup. Sedangkan solusi menentukan siapa kita sesungguhnya. #tsahh
Tag :
Random
0 Komentar untuk "Pohon rubuh dan tampias"