Dulu, di beberapa tahun silam ketika langit ramadhan dihebohkan
dengan bedug takbir. pertanda idul fitri sudah jatuh tempo. ketika sepanjang
jalan raya bogor riuh klakson, pasar-pasar sibuk obral, pedagang mie ayam,
balon dan teh botol laku hebat. ketika petasan menggelegar di halamn rumah
tetangga saya. ketika dandang di dapur ibu mengepul, mengeluarkan tanda ketupat
siap disantap. ketika anak-anak kecil tersenyum sipit dan menggelantung pada
ibunya, tersipu melihat baju baru. ketika spanduk-spanduk bergempita terhembus
angin, bertuliskan sejuta maaf, hari yang suci, dari lahir hingga bathin.
ketika iklan-iklan sirup, mie, sendal, minyak goreng, gula, kopi, dan nyaris
semua orang berduit mengeluarkan iklan yang sama: Mohon maaf lahir dan bathin.
Ketika dering dan getar pada handphone mulai tak kenal diam. ketika suatu pagi,
subuh pertama menikmati indahnya idul fitri, menikmati tekuk lutut dan kecupan
di punggung tangan ayah-ibu, menikmati ketukan pintu tetangga, anak-anak kecil
yang membawa dompet kecil, menikmati semua suasana setahun sekali, menikmati
idul fitri.
iya, terlepas dari seberapa dalam para orangtua merogoh koceknya,
ternyata mau seperti apapun idul fitri telah ditetapkan menjadi hari
kenikmatan. yang jauh didekatkan. yang dekat dileburkan. hari itu, seperti
memiliki magnet bagi semua makhluk bernama manusia. ajaib, eksotis, hari itu,
semua mas-mas lebih sholeh dari biasanya. bapak-bapak tampak sumringah. ibu-ibu
jauh lebih ramah. hari itu, sungguh mahal jika hanya lewat dengan duduk diam di
rumah, nonton kartun special lebaran, konser-konser jayus, gossip spesial,
telkshow spesial, sinetron spesial. ia telah mengubah rumah abu-abu menjadi
punya seribu warna. menjadikan seluruh penghuninya, menyatu dalam suci.
Ya, idul fitri selalu menimbulkan sensasi rindu, bahkan saat saya
memulai huruf pertama dalam tulisan ini.
-23/6,
laboratorium mikro-
Tag :
refamorfosis
0 Komentar untuk "Masih dulu"