Punya Istri PH.D, why not?

Punya Istri PH.D, why not ?

Punya Istri PH.D, why not? - Topik ini bikin saya geli bukan kepalang, sambil ngebayangin kuliah PH.D bareng suami -yang belum tau siapa- nitipin anak di daycare, praktikum, ngopi bareng sambil diskusiin resurjensi patogen, belanja bulanan sambil bawa si kecil. Such a vivid dream. Sembari saya bercerita panjang lebar sama temen saya tentang angan-angan yang katanya kepanjangan, dia nyeletuk "cewek ngapain sih kuliah tinggi-tinggi? Nanti juga ujungnya ngurus anak, ngurus suami, ngurus dapur. Udah lah" Bukannya malah ngedown, saya malah ngikik. "Hihihi dia bilang pingin anaknya jadi kayak Rudy Habibie. Sorry to say, ngefans aja gak cukup bikin anak kamu jadi Pak Marty masa depan. Nanti kalau anak kamu belajar bahasa inggris di rumah, dan kamu gak bisa ngajarin karena kamu kan wanita yang kerjanya ngurusin dapur, mau  Pak Marty yang begimana mbak buat anakmu??"

Dear women, setiap orang tua berharap punya generasi selanjutnya yang lebih baik. Inilah mengapa dalam genetika, ada perkawinan, dimana gen X dan gen Y bersatu dan membentuk gen XY yang lebih baik. Bukan hanya mewariskan gen yang baik, tapi juga ilmu. Dulu, guru ngaji saya bilang bahwa Ibu adalah madrasatul 'ula. Ibu adalah madrasah, sekolah, guru, mentor pertama bagi anaknya. Lalu saya bertanya pada diri sendiri, sudah pantaskah saya menjadi seorang ibu? Apa yang bisa saya ajarin sama anak-anak nanti kalau ilmu saya juga sedikit? Hiks.

Bagi saya, seorang Ibu haruslah cerdas dan berpendidikan tinggi. Masalah ibu akan berkarir atau enggak, itu pilihan. Poin pentingnya adalah, cerdas dan berpendidikan. Mereka yang cerdas pasti tau bahwa seimbang adalah ketika kita belajar ilmu dunia dan ilmu akhirat. Ibu yang cerdas adalah ibu yang membekali dirinya dengan ilmu agama. Karena agama dan sains, nantinya adalah dua hal yang berdampingan. Mengajari anak sholat, baca qur'an, membimbing anak menghafal qur'an, mengajari akidah akhlaq, dsb. Ibu yang cerdas juga ibu yang belajar ilmu-ilmu sains, makanya ia memilih untuk berpendidikan tinggi. Semakin banyak ilmunya, semakin banyak pengalamannya, semakin cerdas ia mengajari anak-anaknya.

Saya sih kebayang aja, ketika anak-anak kita bertanya "kenapa kalo malam mataharinya ilang?" Lalu saya bisa jelaskan secara logis dan atratktif untuk anak, karena pernah terlibat jadi relawan anak-anak. Ketika si anak tanya "bu, malaikat munkar nakir itu ada di surah apa bu?" Saya juga bisa sampaikan bahwa dalam surah Al Infithor ada satu ayat yang menerangkan tentang dua malaikat itu. Ketika anak semakin dewasa dan bertanya "mom, have you read the earlier news today?" Saya tidak lantas hanya jawab yes no lalu kabur karena dunno what else to say. Ketika anak juga bertanya "bu, bahasa jermannya jus apel apa bu?" Dengan pede saya bisa jawab "der apfelsaft" hingga ia memasuki dunia yang lebih dan semakin besar, maka saya, mungkin akan memberinya quote-quote inspiratif agar ia mandiri dan belajar sebanyak mungkin. Karena dulu, saya pun pernah mendengar kutipan penyemangat dari orang-orang sukses macam Alfa Edison atau Napoleon Hill.

Kang Emil pernah bilang, bahwa dengan pendidikan, kita akan punya banyak pilihan hidup. Maka, ketika ibu juga berpendidikan, ia punya banyak pilihan mendidik anak. Bukan hanya membawa nama baik dirinya, tapi juga keluarganya. Ah iya, soal istri PH.D, itu hanya istilah saya untuk menggambarkan, punya istri berpendidikan tinggi, justru jadi nilai tambah dong buat keluarga. Bisa ngajarin anak, bisa kerja juga.

Sayang banget ketika ada temen-temen yang selesai S1 lalu menikah, dan dibatasi ruang geraknya hanya mengurus rumah. Kakak saya dan istrinya sama-sama bekerja dan berkarya, punya dua anak, dan everything goes smoothly. *Yaah meski gak sesimple yang kita lihat* dan semua emang kembali lagi pada keputusan musyawarah keluarga.

Saya yakin kok, di balik lelaki yang hebat ada wanita yang lebih hebat. Makanya, punya istri PH.D, why not? :D


Tag : Random
1 Komentar untuk "Punya Istri PH.D, why not? "

��������

Back To Top